Facebook Badge

Minggu, 13 September 2009

BUKU


Judul: The Roger Federer Story, Quest for Perfection
Penulis: Rene Stauffer
Penerbit: Andi

Terbit: November 2008
Tebal: 434 Halaman


UNTUK meraih kesuksesan yang sempurna dalam sebuah karier seharusnya tidak membuat seseorang hanya terpaku pada target-target yang akan dicapai dan pelbagai strategi yang diterapkan. Bukan juga berambisi menghabisi semua pesaing tanpa ampun agar bisa melenggang ke puncak tanpa mau memberi ruang toleransi terhadap pada sebuah kegagalan.

Itu bukan karakter seorang jawara sejati, sesungguhnya dia telah berubah menjadi robot yang hanya dipenuhi hitungan statistik. Andai deretan prestasi berhasil ditorehkan, itu hanya akan menjadi saksi bisu hilangnya sebuah jiwa.

Sejatinya kesuksesan yang sempurna adalah sebuah sikap sederhana yang mau menghargai setiap langkah kecil yang diraih sebelum berubah menjadi lompatan-lompatan yang besar. Mau mengakui kesalahan strategi yang diterapkan dan bersedia menerima kehadiran pesaing untuk berkompetisi secara jantan untuk menuju puncak takhta.

Karena kesuksesan yang sempurna merupakan perpaduan unik antara ketabahan menjalani sebuah perjuangan dan keberanian berkreativitas tanpa khawatir dicibir. Kesempurnaan akan semakin kentara dengan kesediaan menggulurkan tangan untuk bergandengan dengan lawan-lawan, ketika kesuksesan tengah mendatangi kita.

Kesuksesan yang sempurna bukanlah berhiaskan deretan prestasi gemilang dan tumpukan hadiah, tapi hadirnya sebuah jiwa baru yang hangat sekaligus simpatik. Sebab, kesempurnaan bukan hanya berisi torehan prestasi yang mulus, namun adanya keberanian berekonsiliasi dengan takdir dan kesalahan.

Itulah pelajaran tentang kesuksesan sempurna yang dapat diambil dalam buku Roger Federer Story, Quesr for Perfection yang ditulis Rene Stauffer. Buku yang diterbitkan penerbit Andi ini merekam secara detail perjalanan dan perjuangan petenis asal Basel, Swiss meniti karier dari bawah sampai menjadi juara Gran Slam lebih dari sepuluh kali. Begitu cemerlangnya karier lelaki kelahiran 8 Agustus 1981 ini di gelangang tenis membuatnya dijuluki Roger Slam.

Buku setebal 434 halaman ini berisi banyak hal menarik, bukan sekadar menyajikan perjuangan dan kemauan keras Federer menjadi petenis nomor satu di dunia, juga menonjolkan sisi humanis anak pasangan Robert Federer dan Lynnette Durrand. Meski memiliki bakat yang besar dan pernah meraih juara nasional Swiss pada usia 11 tahun, Federer tak membiarkan ambisinya menjadi petenis terbaik di dunia membelenggu jiwanya, ketika memutuskan terjun ke tenis profesional pada usia 18 tahun.

Dia memasang target-target realistis sebagai langkah kecil, sebelum mewujudkan sebuah lompatan besar untuk meraih sukses. Mulai dari target bisa masuk daftar 100 pemain terbaik dunia. Lalu setahun kemudian diubah agar masuk 50 pemain terbaik, meningkat lagi menjadi jajaran 25 pemain terbaik, kemudian 10 pemain terbaik dunia, sampai akhirnya dia mampu mewujudkan menjadi petenis nomor satu dunia pada 2004.

Federer pun berjuangan menaklukkan karakternya yang mudah meledak-ledak ketika menerima kegagalan. Dia tak mau raketnya selalu menjadi sasaran kemarahannya setiap kali melakukan kesalahan. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa untuk meraih kesuksesan kadang diselipi kegagalan. Seperti dalam tenis ada kalanya kita mampu melakukan pukulan ace untuk meraih poin, kadang kala kita melakukan double fault yang mengakibatkan kehilangan angka.

Ketika di puncak tertinggi sebagai petenis nomor satu dunia, Federer pun mampu menerima kehadiran lawan-lawan yang kerap menyulitkan. Baginya lawan bukan musuh yang sekadar harus ditaklukkan, tapi sebagai pemacu semangat untuk terus tampil konsisten.

Saat berjuang untuk meraih petenis terbaik dunia dia tak pernah menyerah untuk menghadapi tiga petenis yang kerap menyulitkannya, seperti Andre Agassi, David Nalbandian, dan Andy Roddick. Ketika sudah menjadi yang terbaik dia pun menikmati persaingan dengan petenis asal Spanyol Rafael Nadal.

Federer pun tak hanya berkutat dengan persaingan di lapangan tenis untuk mengisi hidupnya. Dia tak hanya memikirkan soal karier dan gelar petenis terbaik di dunia, meski telah memberinya kekayaan sebesar USD43juta. Ada kehidupan lain di luar lapangan tenis yang membuatnya lebih humanis, seperti bersahabat dengan idolanya Pete Sampras dan Tiger Wood. Atau melakukan kegiatan sosial menolong korban bencana di berbagai belahan dunia.

Begitulah kesuksesan yang sempurna ala Roger Slam. Penuh kreativitas di lapangan tenis, tetap humanis dalam kehidupan sehari-hari.

0 komentar: