Facebook Badge

Minggu, 13 September 2009

BUKU




Judul: Hujan Meminang Badai
Penulis: Tri Astoto Kodarie
Tebal: xxvii + 122 halaman
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta,
Terbit: Maret 2007

Sebuah puisi lahir dari hasil perenungan yang mendalam seorang penyair. Di sini terjadi semacam interkasi antara si penyair dengan dunia di sekitarnya. Hasilnya dapat berupa kegelisahan maupun pertanyaan-pertanyaan kontemplatif. Begitu kesan yang didapat ketika membaca kumpulan puisi Tri Astoto Kodarie, Hujan Meminang Badai.


Sejumlah puisi dalam antologi ini memperlihatkan bagaimana penyairnya melakukan perenungan dalam kesunyian. Jika syair-syair dalam antologi ini dibaca dengan seksama, kesunyian itu jelas tertangkap lewat ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh penyairnya. Lihat saja kutipan puisi Di Pelataran Mesjid Demak ,….akhirnya kutemukan juga/ muara kelelahan ini/ keheningan yang menggelayut/ di permukaan embun dinihari.
Penggunaan “keheningan yang menggelayut” misalnya, memperlihatkan bagaimana sang penyair melakukan penjarakan dari hiruk-pikuk dunia, hadir secara total di ruang hening, dan mulai berdialog dengan dirinya sendiri.


Menariknya, dialog yang terjadi antara penyair dengan dirinya sendiri tidak terperosok dalam keasyikan dengan “dunia batin”-nya sendiri, tetapi justru menyajikannya lewat representasi lain sehingga syair lebih kaya dengan metafor, dan tak jarang menambah daya magis maupun kekuatan dari sebuah puisi. Kata-kata yang dimaksud misalnya “senjaMu”, “tanah basah”, “daun-daun gugur”, “ilalang pantai”, “sayap-sayap air”, “bau bunga-bunga rumput”, ataupun “burung-burung hitam yang menukik”.


Kesunyian, keheningan, dan sepi, dari puisi Trie Astoto Kodarie juga tampak pada puisi Surat-surat yang Tertulis Setelah Senja, Yang Ada Hanyalah Suara Malam, Ziarah 2, Sajak Gelombang, atau Meneteslah Air Mata Sunyi.


Di samping itu, perenungan Trie Astoto Kodarie menyeret kita pada titik ekstrem, yakni kematian dan perjumpaan dengan Tuhan. Ini bukan sikap eskapis dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan, tetapi lebih kepada upaya membawa pembaca kepada suatu titik perenungan diri untuk menjawab posisi eksitensi kemanusiannya. Dalam sajak Mengantar Jenazah di Saat Hujan Tengah Hari misalnya, Tri Astoto menulis, ….saat sukma-sukma mereke bersimpuh/ jasad tergolek ke liang tanah basah/penuh misteri antara dua alam/ esok pun kita bakal melewati jajaran pohon kamboja/ yang dingin dan kaku/ bersama sahabat-sahabat setia yang akan mengantarnya//.


Puisi ini dapat dikatakan “menghentak”, sebab ia mengajak pembaca untuk ikut merasakan aroma kematian itu, memosisikan diri pembaca sebagai “si mati”, dan menghadirkan suasana magis kematian. Ada semacam usaha untuk melontarkan pembaca dari ruang dimana ia berada, menyuguhkan alienasi, dan menyeret ke “zona tak nyaman”. Dengan begitu renungan-renungan yang lebih dalam lagi mengenai keberadaan diri dapat lebih dicapai.


Sementara itu perjumpaan dengan Tuhan, saat eksistensi manusia dan keangkuhannya seketika meluluh, terlihat dalam puisi Di Pelataran Mesjid Demak. Di dalam puisi ini terlihat bagaimana manusia menjadi tidak ada artinya di hadapan kuasa Tuhan. Itu sebabnya hanya di hadapanNya saja manusia bisa berkeluh kesah, mengadukan nasib dan persoalan hidup. Di sinilah titik perhentian ekstrem manusia. Tengok saja penggalan dari puisi ini, …biarkan di sini aku mengeja ayat-ayatmu/ suaraku telah parau untuk setia memanggilMu/ air mataku telah kering/ menumpahkan seluruh riwayat dan perjalanan/.


Perenungan-perenungan Tri Astoto bergerak sedemikian rupa dengan sejumlah titik pencapaian, seperti ketakberdayaan dalam menghadapi sesuatu, dan kegelisahan ketika telah terjadi sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebutlah ketika ia melihat guru yang bertahan dengan idealisme, atau nelayan yang juga tidak kuasa mengubah nasib meskipun telah bekerja keras.


Di sini Tri Astoto tidak melakukan gugatan, protes, atau menuntut perubahan secara terbuka, tetapi justru mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang dicatatakan dalam puisi-puisinya.Tengok saja puisi sajak Anak-anak yang Tidur Gelisah. Dalam puisi ini Tri Astoto menulis, ….setetes embun malam di kaca jendela/ menyaksikan wajah-wajah yang sarat beban/ wajah anak-anak merdeka yang tak merdeka/ wajah-wajah anak zaman/ yang diterlantarkan zaman/ mengingatnya, air mataku jatuh tak tertahan//.


Pada puisi tersebut jelas bagaimana Trie Astoto bereaksi atas apa yang telah ia cermati dari keadaan di lingkungan sekitarnya, yakni kepahitan-kepahitan hidup yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya. Reaksi serupa sangat kental dalam puisi-puisi Siang Namaku, Catatan Harian Seorang Guru, Tembang Nelayan Dini Hari, dan Sajak dari Perkampungan Nelayan.
Menyimak 115 sajak Tria Astoto Kodarie yang ditulis pada rentang 27 tahun ini, dapat dilihat bagaimana ia memiliki kedekatan dengan alam, terutama laut atau danau. Tampak ada semacam ekstase dan ketersentuhan pengalaman puitik ketika ia mengamati--ataupun melakukan penyatuan diri--dengan alam.


Dari proses inilah lahir syair-syair yang sarat metafora. Simak saja puisi-puisi berjudul Biarkan Layar Berkibar, Perahu, Mata Laut, Kapal yang Merapat di Dermaga, Selat Makasar, atau Suatu Malam di Atas Perahu.


Dalam puisi Suatu Malam di Stas Perahu contohnya, Tri Astoto menulis ….biarkan aku menyusuri pantai/ dengan perahu dan sisa badai/ menanti isyarat angin dan suara/ yang setia mengusap kening jiwa//. Sementara itu, dalam puisi Selat Makassar ia menulis,..kuhanyutkan rindu di selat ini/ mendung yang letih menambah perih/ tak ada lagi tembang meniti buih/ hanya kerlip lampu para nelayan/ dipermainkan ombak dan cuaca//.

Secara garis garis besar, puisi-puisi Tri Astoto Kodarie membawa pembaca pada ruang interpretasi yang lebar. Banyak makna yang bisa digali dari setiap teks yang ada. Dengan begitu segala perenungan, hasil refleksi, dan pergulatan batin yang ada tidak berdiam sampai satu titik saja, tetapi bergerak dan mengembara lebih bebas di dalam ruang pemaknaan pembacanya

0 komentar: