Facebook Badge

Selasa, 29 September 2009

FILM

transporter 3


Bagi penggemar film Tranporter nama Jason Statham tidaklah asing. Masih berperan sebagai Frank Martin, di sekuel ketiga kali ini tugasnya adalah mengantarkan Valentina (Natalya Rudakova) anak dari Menteri Lingkungan Ukraina Leonid Vasilev (Jeroen Krabbe) yang diculik oleh Johnson (Robert Knepper) untuk memeras sang menteri. Johnson menculik Valentina agar Leonid Vasilev mau meloloskan pembuangan limbah berbahaya dari Barat ke negara Ukraina.

Frank Martin sebenarnya sudah menolak pekerjaan tersebut dan merekomendasikan Malcom Manville (David Atrakchi) untuk pekerjaan tersebut. Tugasnya membawa Valentina dari Marseille menuju Odessa di Laut Hitam melalui Stuttgart dan Budapest.

Kegagalan dan kematian Malcom dalam menyelesaikan tugas ini memaksa Frank Martin menjadi penggantinya. Sejak awal Frank Martin tidak paham kalau harus mengantar Valentina sebagai sandera. Gelang magnetik yang dipasang oleh Johnson pada Valentina dan Frank Martinpun menjadikan keduanya tidak boleh jauh dari mobil agar tidak meledakkan keduanya.

Frank Martin yang keras kepala tidak mau mengikuti perintah dan skenario Johnson dalam mengantar Valentina. Berkali-kali ia merubah arah perjalan untuk mengungkap sebenarnya maksud pekerjaan yang sedang ia lakukan.

Dengan bantuan inspektur Tarconi (Francois Berleand) sahabatnya, ia berhasil memaksa Johnson untuk mengatakan yang sebenarnya. Seperti sekuel-sekuel sebelumnya, aksi kejar-kejaran dengan mobil mewah di jalanan serta perkelahian tangan kosong menjadi bumbu yang paling menarik dan paling ditunggu dalam film yang dibuat di Rusia da Eropa ini.

Apakah Johnson berhasil memaksa Leonid Vasilev untuk menandatangani dokumen tersebut? Atau apakah Frank Martin berhasil menangkap Johnson? Bagaimana nasib Valentina selanjutnya?

Jumat, 25 September 2009

FILM

TRANSPORTER 2 merupakan sekuel dari TRANSPORTER tahun 2002. Di sekuel ini penulis naskah Luc Besson membuat alur cerita lebih bagus dengan mengetengahkan secara jelas apa yang diinginkannya. Film arahan sutradara Louis Leterrier ini masih mengetengahkan kejar-kejaran mobil, kapal ataupun pesawat serta serentetan tembakan senjata api dan didukung dengan penampilan Jason Statham yang kembali memerankan jagoan Frank Martin.

Kembali ditampilkan karakter Frank Martin (Jason Statham), sosok yang cukup pas khusus dalam bidang pengangkutan. Selain mantan anggota angkatan darat khusus Inggris, Martin juga seorang pengemudi yang terampil, jagoan bela diri, dan pria yang tak banyak bicara, kebajikan sejatinya, menganggap gaya sedikit bicaranya adalah kualitas terbaik.

Martin yang pensiun dari angkatan darat sekarang jadi sopir pribadi seorang anak lelaki, Jack Billings (Hunter Clar), di mana ayahnya, Jackson Billings (Matthew Modine) adalah agen narkotik AS.

Action dimulai saat Martin membawa Jack pada kunjungan rutin ke dokter. Martin tak sadar bahwa sekelompok teroris sudah membunuh staf di klinik dan sedang menyamar sebagai dokter dan jururawat guna menculik Jack. Tetapi ini bukan penculikan biasa. Teroris ini mempunyai ambisi yang lebih daripada sekedar mencari uang tebusan.

Sebelum mereka melepaskan Jack, mereka menyuntiknya dengan virus maut, di mana lalu menularkan kepada bapaknya, agen narkotika, yang kemudian melancarkan virus ke puncak pertemuan di mana ia jadi pembicara, dan menulari semua pakar pelaksana hukum internasional. Dan di sinilah tugas Martin meleraikan lingkaran teroris serta mencegah penyebaran virus.

Martin mesti berusaha sekuat tenaga mengatasi musuhnya kali ini, seorang penjahat yang digambarkan cerdik luar biasa Gianni (Alessandro Gassman) dan kekasihnya Lola (Katie Nauta)

Senin, 14 September 2009

NOVEL


Judul Buku : Galaksi Kinanthi
Penulis : Tasaro
Penerbit : Salamadani
Pembaca : Semua Kalangan


Perkembangan novel di Indonesia akhir-akhir ini mengalami sebuah kemajuan yang pesat. Banyak orang yang sudah melirik novel sebagai pilihan bacaan. Tidak terkecuali saya.

Nah pada minggu ini kita akan bahas Novel Galaksi Kinanthi. Novel ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Kinanthi yang memiliki tekanan hidup yang hebat dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia terlahir dari seorang ibu yang terkenal dengan baulawean (mitos jawa: perempuan yang setiap menikah, suaminya meninggal), masnya preman pasar dan kakak perempuanyya seorang lonthe. Dan sebagai pelengkap tekanan, bapaknya adalah seorang tukang judi.

Kondisi ini membuat kehidupan Kinanthi menjadi tidak bersahabat dengannya, karena keluarganya di jauhi oleh lingkungan sekitar. Uniknya ada satu orang yang dengan setia menjadi sahabat sekaligus teman pelipur lara. Ia adalah Ajuj, seorang anak rois (petinggi agama di kampung).
Dari sinilah konflik demi konflik terjadi ketika Kinanthi masih kecil, hingga puncak konflik yang sangat tidak lazim terjadi. Bapak dan ibu Kinanthi menjual Kinanthi dengan lima puluh kilo gram beras dengan seorang pasangan yang tinggal di Bandung. Dengan iming-iming di sekolahkan bapak dan ibunya rela melepas Kinanthi ke tangan pasangan tersebut.
Konflik tidak berhenti sampai disini, pada awalnya pasangan tersebut baik kepada Kinanthi, hingga suatu ketika ada peristiwa teman satu sekolahnya yang bernama Gesit ingin memperkosanya. Kejadian itu membuat keluarga yang mengadopsi Kinanthi salah sangka, mereka menganggap Kinanthi adalah seorang yang tidak tahu diri dan tidak bisa menjaga martabat keluarga. Alhasil penyiksaan secara psikologispun dimulai, dan Kinanthi diperlakukan seperti budak di rumah keluarga tersebut.

Belum selesai penderitaan Kinanthi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya dijual kembali kepada penampung TKI untuk di kirim ke Arab. Dan selanjutnya penderitaan demi penderitaan sebagai TKI dimulai. Penyiksaan fisik dan psikologis seolah menjadi makanan sehari-hari TKI tersebut. Dan ia pun berpindah-pindah dari tangan majikan satu ke majikan lain, setelah ia dibawa kabur dari arab ke kuwait.

Pada satu saat ada keluarga dari Kuwait yang ingin menjadikan Kinanthi sekolah di Amerika, dan ini kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Kinanthi. Ia pun pergi ke negeri paman Sam dengan harapan baru. Namun sampai disana apa yang terjadi? Ternyata keluarga yang mengajaknya ke Amerika masih memiliki hubungan keluarga dengan salah satu majikannya di Kuwait yang ia lawan ketika akan menyiksanya.

Alhasil penderitaan demi penderitaan dimulai. Dari mulai dipukul dengan tongkat base ball, sampai dengan pemerkosaan. Sungguh sebuah kebiadaban di jelaskan dengan cukup pilu hingga akhirnya ia dapat meloloskan diri dari rumah majikannya dan ditolong oleh sepasang muslim yang baik hati.

Sampai sini semua perubahan dimulai dan Kinanthi berkembang dan tumbuh menjadi seorang profesor, namun di tengah kesuksesannya ia mengingat orang yang selalu dicintai dalam bayang dan ingatannya. Dari sinilah konflik psikologis dimulai kembali dan Kinanthi kembali ke kampung halamannya. Mampukah Kinanthi bersatu dengan Ajuj kembali, well lebih baik anda baca novelnya.

Novel ini sungguh luar biasa, kita diingatkan kembali bahwa tidak mudah menjadi seorang TKI, ketika ia sampai disana, ia harus mengorbankan semua hal yang ia miliki bahkan nyawa. Bisa bertahan dan melewatinya tanpa trauma adalah sebuah perjuangan yang tidak main-main. Dan di novel ini kita diajak melihat realitas psikologis Kinanthi dari sudut pandang perempuan yang menjadi TKI. Tidak hanya itu penulis juga manyajikan ketulusan cinta dua pasang insan yang menggetarkan jiwa. Sungguh saya dibuat mengharu biru ketika membacanya. Jadi ini adalah rekomendasi saya secara untuk anda baca.


Tentang penulis… Tasaro GK lahir di Gunung Kidul 1 September 1980. Menulis buku sejak 2005, meraih beberapa penghargaan: juara 1 lomba novel FLP 2005 untuk buku WANDU: Berhentilah menjadi pengecut (Dzikrul Hakim), Adikarya IKAPI 2006 untuk novel Di Serambi Mekkah dan yang terakhir juara Adikarya IKAPI 2007 untuk novel O, Achilles. Dan saya yakin karyanya yang terakhir ini adalah karya yang akan mendapatkan award serupa, karena penceritaan dan cara menuturkan bagus sekali.


Minggu, 13 September 2009

BUKU


Judul: The Roger Federer Story, Quest for Perfection
Penulis: Rene Stauffer
Penerbit: Andi

Terbit: November 2008
Tebal: 434 Halaman


UNTUK meraih kesuksesan yang sempurna dalam sebuah karier seharusnya tidak membuat seseorang hanya terpaku pada target-target yang akan dicapai dan pelbagai strategi yang diterapkan. Bukan juga berambisi menghabisi semua pesaing tanpa ampun agar bisa melenggang ke puncak tanpa mau memberi ruang toleransi terhadap pada sebuah kegagalan.

Itu bukan karakter seorang jawara sejati, sesungguhnya dia telah berubah menjadi robot yang hanya dipenuhi hitungan statistik. Andai deretan prestasi berhasil ditorehkan, itu hanya akan menjadi saksi bisu hilangnya sebuah jiwa.

Sejatinya kesuksesan yang sempurna adalah sebuah sikap sederhana yang mau menghargai setiap langkah kecil yang diraih sebelum berubah menjadi lompatan-lompatan yang besar. Mau mengakui kesalahan strategi yang diterapkan dan bersedia menerima kehadiran pesaing untuk berkompetisi secara jantan untuk menuju puncak takhta.

Karena kesuksesan yang sempurna merupakan perpaduan unik antara ketabahan menjalani sebuah perjuangan dan keberanian berkreativitas tanpa khawatir dicibir. Kesempurnaan akan semakin kentara dengan kesediaan menggulurkan tangan untuk bergandengan dengan lawan-lawan, ketika kesuksesan tengah mendatangi kita.

Kesuksesan yang sempurna bukanlah berhiaskan deretan prestasi gemilang dan tumpukan hadiah, tapi hadirnya sebuah jiwa baru yang hangat sekaligus simpatik. Sebab, kesempurnaan bukan hanya berisi torehan prestasi yang mulus, namun adanya keberanian berekonsiliasi dengan takdir dan kesalahan.

Itulah pelajaran tentang kesuksesan sempurna yang dapat diambil dalam buku Roger Federer Story, Quesr for Perfection yang ditulis Rene Stauffer. Buku yang diterbitkan penerbit Andi ini merekam secara detail perjalanan dan perjuangan petenis asal Basel, Swiss meniti karier dari bawah sampai menjadi juara Gran Slam lebih dari sepuluh kali. Begitu cemerlangnya karier lelaki kelahiran 8 Agustus 1981 ini di gelangang tenis membuatnya dijuluki Roger Slam.

Buku setebal 434 halaman ini berisi banyak hal menarik, bukan sekadar menyajikan perjuangan dan kemauan keras Federer menjadi petenis nomor satu di dunia, juga menonjolkan sisi humanis anak pasangan Robert Federer dan Lynnette Durrand. Meski memiliki bakat yang besar dan pernah meraih juara nasional Swiss pada usia 11 tahun, Federer tak membiarkan ambisinya menjadi petenis terbaik di dunia membelenggu jiwanya, ketika memutuskan terjun ke tenis profesional pada usia 18 tahun.

Dia memasang target-target realistis sebagai langkah kecil, sebelum mewujudkan sebuah lompatan besar untuk meraih sukses. Mulai dari target bisa masuk daftar 100 pemain terbaik dunia. Lalu setahun kemudian diubah agar masuk 50 pemain terbaik, meningkat lagi menjadi jajaran 25 pemain terbaik, kemudian 10 pemain terbaik dunia, sampai akhirnya dia mampu mewujudkan menjadi petenis nomor satu dunia pada 2004.

Federer pun berjuangan menaklukkan karakternya yang mudah meledak-ledak ketika menerima kegagalan. Dia tak mau raketnya selalu menjadi sasaran kemarahannya setiap kali melakukan kesalahan. Sampai akhirnya dia menyadari bahwa untuk meraih kesuksesan kadang diselipi kegagalan. Seperti dalam tenis ada kalanya kita mampu melakukan pukulan ace untuk meraih poin, kadang kala kita melakukan double fault yang mengakibatkan kehilangan angka.

Ketika di puncak tertinggi sebagai petenis nomor satu dunia, Federer pun mampu menerima kehadiran lawan-lawan yang kerap menyulitkan. Baginya lawan bukan musuh yang sekadar harus ditaklukkan, tapi sebagai pemacu semangat untuk terus tampil konsisten.

Saat berjuang untuk meraih petenis terbaik dunia dia tak pernah menyerah untuk menghadapi tiga petenis yang kerap menyulitkannya, seperti Andre Agassi, David Nalbandian, dan Andy Roddick. Ketika sudah menjadi yang terbaik dia pun menikmati persaingan dengan petenis asal Spanyol Rafael Nadal.

Federer pun tak hanya berkutat dengan persaingan di lapangan tenis untuk mengisi hidupnya. Dia tak hanya memikirkan soal karier dan gelar petenis terbaik di dunia, meski telah memberinya kekayaan sebesar USD43juta. Ada kehidupan lain di luar lapangan tenis yang membuatnya lebih humanis, seperti bersahabat dengan idolanya Pete Sampras dan Tiger Wood. Atau melakukan kegiatan sosial menolong korban bencana di berbagai belahan dunia.

Begitulah kesuksesan yang sempurna ala Roger Slam. Penuh kreativitas di lapangan tenis, tetap humanis dalam kehidupan sehari-hari.

BUKU




Judul: Hujan Meminang Badai
Penulis: Tri Astoto Kodarie
Tebal: xxvii + 122 halaman
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta,
Terbit: Maret 2007

Sebuah puisi lahir dari hasil perenungan yang mendalam seorang penyair. Di sini terjadi semacam interkasi antara si penyair dengan dunia di sekitarnya. Hasilnya dapat berupa kegelisahan maupun pertanyaan-pertanyaan kontemplatif. Begitu kesan yang didapat ketika membaca kumpulan puisi Tri Astoto Kodarie, Hujan Meminang Badai.


Sejumlah puisi dalam antologi ini memperlihatkan bagaimana penyairnya melakukan perenungan dalam kesunyian. Jika syair-syair dalam antologi ini dibaca dengan seksama, kesunyian itu jelas tertangkap lewat ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh penyairnya. Lihat saja kutipan puisi Di Pelataran Mesjid Demak ,….akhirnya kutemukan juga/ muara kelelahan ini/ keheningan yang menggelayut/ di permukaan embun dinihari.
Penggunaan “keheningan yang menggelayut” misalnya, memperlihatkan bagaimana sang penyair melakukan penjarakan dari hiruk-pikuk dunia, hadir secara total di ruang hening, dan mulai berdialog dengan dirinya sendiri.


Menariknya, dialog yang terjadi antara penyair dengan dirinya sendiri tidak terperosok dalam keasyikan dengan “dunia batin”-nya sendiri, tetapi justru menyajikannya lewat representasi lain sehingga syair lebih kaya dengan metafor, dan tak jarang menambah daya magis maupun kekuatan dari sebuah puisi. Kata-kata yang dimaksud misalnya “senjaMu”, “tanah basah”, “daun-daun gugur”, “ilalang pantai”, “sayap-sayap air”, “bau bunga-bunga rumput”, ataupun “burung-burung hitam yang menukik”.


Kesunyian, keheningan, dan sepi, dari puisi Trie Astoto Kodarie juga tampak pada puisi Surat-surat yang Tertulis Setelah Senja, Yang Ada Hanyalah Suara Malam, Ziarah 2, Sajak Gelombang, atau Meneteslah Air Mata Sunyi.


Di samping itu, perenungan Trie Astoto Kodarie menyeret kita pada titik ekstrem, yakni kematian dan perjumpaan dengan Tuhan. Ini bukan sikap eskapis dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan, tetapi lebih kepada upaya membawa pembaca kepada suatu titik perenungan diri untuk menjawab posisi eksitensi kemanusiannya. Dalam sajak Mengantar Jenazah di Saat Hujan Tengah Hari misalnya, Tri Astoto menulis, ….saat sukma-sukma mereke bersimpuh/ jasad tergolek ke liang tanah basah/penuh misteri antara dua alam/ esok pun kita bakal melewati jajaran pohon kamboja/ yang dingin dan kaku/ bersama sahabat-sahabat setia yang akan mengantarnya//.


Puisi ini dapat dikatakan “menghentak”, sebab ia mengajak pembaca untuk ikut merasakan aroma kematian itu, memosisikan diri pembaca sebagai “si mati”, dan menghadirkan suasana magis kematian. Ada semacam usaha untuk melontarkan pembaca dari ruang dimana ia berada, menyuguhkan alienasi, dan menyeret ke “zona tak nyaman”. Dengan begitu renungan-renungan yang lebih dalam lagi mengenai keberadaan diri dapat lebih dicapai.


Sementara itu perjumpaan dengan Tuhan, saat eksistensi manusia dan keangkuhannya seketika meluluh, terlihat dalam puisi Di Pelataran Mesjid Demak. Di dalam puisi ini terlihat bagaimana manusia menjadi tidak ada artinya di hadapan kuasa Tuhan. Itu sebabnya hanya di hadapanNya saja manusia bisa berkeluh kesah, mengadukan nasib dan persoalan hidup. Di sinilah titik perhentian ekstrem manusia. Tengok saja penggalan dari puisi ini, …biarkan di sini aku mengeja ayat-ayatmu/ suaraku telah parau untuk setia memanggilMu/ air mataku telah kering/ menumpahkan seluruh riwayat dan perjalanan/.


Perenungan-perenungan Tri Astoto bergerak sedemikian rupa dengan sejumlah titik pencapaian, seperti ketakberdayaan dalam menghadapi sesuatu, dan kegelisahan ketika telah terjadi sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebutlah ketika ia melihat guru yang bertahan dengan idealisme, atau nelayan yang juga tidak kuasa mengubah nasib meskipun telah bekerja keras.


Di sini Tri Astoto tidak melakukan gugatan, protes, atau menuntut perubahan secara terbuka, tetapi justru mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang dicatatakan dalam puisi-puisinya.Tengok saja puisi sajak Anak-anak yang Tidur Gelisah. Dalam puisi ini Tri Astoto menulis, ….setetes embun malam di kaca jendela/ menyaksikan wajah-wajah yang sarat beban/ wajah anak-anak merdeka yang tak merdeka/ wajah-wajah anak zaman/ yang diterlantarkan zaman/ mengingatnya, air mataku jatuh tak tertahan//.


Pada puisi tersebut jelas bagaimana Trie Astoto bereaksi atas apa yang telah ia cermati dari keadaan di lingkungan sekitarnya, yakni kepahitan-kepahitan hidup yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya. Reaksi serupa sangat kental dalam puisi-puisi Siang Namaku, Catatan Harian Seorang Guru, Tembang Nelayan Dini Hari, dan Sajak dari Perkampungan Nelayan.
Menyimak 115 sajak Tria Astoto Kodarie yang ditulis pada rentang 27 tahun ini, dapat dilihat bagaimana ia memiliki kedekatan dengan alam, terutama laut atau danau. Tampak ada semacam ekstase dan ketersentuhan pengalaman puitik ketika ia mengamati--ataupun melakukan penyatuan diri--dengan alam.


Dari proses inilah lahir syair-syair yang sarat metafora. Simak saja puisi-puisi berjudul Biarkan Layar Berkibar, Perahu, Mata Laut, Kapal yang Merapat di Dermaga, Selat Makasar, atau Suatu Malam di Atas Perahu.


Dalam puisi Suatu Malam di Stas Perahu contohnya, Tri Astoto menulis ….biarkan aku menyusuri pantai/ dengan perahu dan sisa badai/ menanti isyarat angin dan suara/ yang setia mengusap kening jiwa//. Sementara itu, dalam puisi Selat Makassar ia menulis,..kuhanyutkan rindu di selat ini/ mendung yang letih menambah perih/ tak ada lagi tembang meniti buih/ hanya kerlip lampu para nelayan/ dipermainkan ombak dan cuaca//.

Secara garis garis besar, puisi-puisi Tri Astoto Kodarie membawa pembaca pada ruang interpretasi yang lebar. Banyak makna yang bisa digali dari setiap teks yang ada. Dengan begitu segala perenungan, hasil refleksi, dan pergulatan batin yang ada tidak berdiam sampai satu titik saja, tetapi bergerak dan mengembara lebih bebas di dalam ruang pemaknaan pembacanya

BUKU




Judul: Semua Berawal dengan Keteladanan, Catatan Kritis Rosihan Anwar
Penulis: Rosihan Anwar
Tebal: xx + 515 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: Mei 2007

Setiap penulis kolom memiliki gaya penulisan yang khas. Ada penulis yang menyajikan tulisan secara “berat”, sebut saja seperti Goenawan Mohammad, ada yang bergaya ceplas-ceplos seperti Harry Roesli, ada juga yang bergaya segar dan jenaka seperti Mahbub Djunaidi.
Setiap gaya tulisan boleh-boleh saja beda. Namun jika diamati, ada kesamaan di antara penulis-penulis tersebut. Kesamaan itu adalah, semua penulis tersebut sangat kaya dengan pengalaman, memiliki pengetahuan yang luas, serta kejelian dalam menangkap persoalan yang ada di sekitarnya.


Begitu pula dengan Rosihan Anwar. Ia adalah seorang penulis yang memiliki ciri-ciri seperti di atas. Rosihan Anwar adalah penulis yang kaya dengan berbagai pengetahuan, mulai dari pengetahuan sejarah, sastra, kebudayaan, filsafat, hingga politik. Seperti diungkapkan oleh Julius Pour dalam pengantar buku ini, semua pengetahuan itu membuat Rosihan Anwar dapat berpikir secara runtut dan memakai bahasa yang jernih.


Ditambah lagi, profesinya sebagai wartawan memungkinkannya mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang dari berbagai kalangan, mulai dari rakyat kecil, pejabat, tokoh-tokoh berpengaruh, sampai pesohor. Di sisi lain ia juga berkesempatan menjadi saksi langsung berbagai peristiwa penting.


Hal-hal itulah yang membuat tulisan-tulisan Rosihan Anwar menjadi lebih kaya, penuh warna, dan tampak penguasannya terhadap kompleksitas persoalan dan kemajemukan setiap permasalahan. Tidak heran jika pembaca merasa betah berlama-lama membaca tulisannya. Padahal bukan tidak mungkin persoalan yang disampaikan dalam tulisannya adalah masalah yang cukup serius. Begitu pula tulisan-tulisannya dalam buku Semua Berawal dengan Keteladanan.


Semua Berawal dengan Keteladanan adalah kumpulan kolom Rosihan Anwar yang muncul di tabloid Cek & Ricek. Nama kolom tersebut adalah Halo Selebritis. Seperti lazimnya tabloid hiburan, Cek & Ricek pun berisi berbagai berita seputar selebritis dan dunia hiburan. Namun begitu, tabloid ini masih menyisakan ruang untuk diisi oleh tulisan-tulisan yang memberikan pengayaan kepada pembacanya, itulah kolom Rosihan Anwar. Tidak mengherankan jika kolom ini adalah salah satu tulisan yang selalu ditunggu pembacanya setiap minggu.


Membaca buku ini yang diterbitkan untuk memperingati 85 tahun Rosihan Anwar dan 60 tahun usia perkawinannya dengan Siti Zuraida Sanawi ini, kita dapat melihat bagaimana wartawan tiga jaman itu memandang berbagai persoalan yang ada di masyarakat, mulai dari persoalan kebudayaan, sosial, pers, politik sampai ekonomi. Cara pandang Rosihan Anwar itu sangat beragam, ia dapat saja mengacungkan jempol, geleng-geleng kepala, mengritik pedas, bersikap sinis atau pun mengejek. Kesemuanya disampaikan secara terbuka atau blak-blakan.
Ketika Polri berhasil menangkap Imam Samudra dan Amrozi tersangka peristiwa pemboman di Bali misalnya, Rosihan Anwar secara terbuka memuji prestasi tersebut. Namun, ketika ia menilai para selebriti, entah pelawak ataupun penyanyi rock, yang tiba-tiba di bulan Ramadhan sering muncul membawakan acara agama di malam atau subuh hari, ia seperti menyimpan tanda tanya. Bahkan Rosihan Anwar mempertanyakan, apakah kalau sudah menjadi terkenal seseorang bisa begitu saja dipakai dalam acara dakwah? (hal. 209).


Menariknya, Rosihan pun tidak pernah pandang bulu dalam melancarkan kritik. Pejabat, birokrat atau pun artis, bisa saja dikritiknya terang-terang. Bahkan presiden pun tidak lepas dari sasaran kritiknya, misalnya saja secara terang-terangan ia mengatakan bahwa dalam hal KKN, Gus Dur sudah sami mawon dengan mantan Presiden Soeharto (hal. 35). Begitu pula ketika ia berkali-kali mengritik Presiden Megawati.


Kolom-kolom Rosihan Anwar pun menjadi lebih menarik untuk dibaca karena banyak sekali “sejarah kecil” yang disisipkan dalam kolom-kolom ini. Meskipun dikatakan “sejarah kecil” namun hal tersebut justru memperkaya tulisan sejarah yang ada. Misalnya dalam tulisan yang berjudul Dewi Rais Punya Cerita, Pertanyaan Bisa Bikin Ibu Mega Sebel, Rosihan menulis bagaimana Presiden Soekarno marah kepada Dewi Rais, istri Letjen (Purn.) Rais Rabin. Ketika itu Dewi Rais dan pengurus PWI yang diketuai Mahbub Djunaidi (almarhum) berkunjung ke Istana Bogor. Sesampainya di sana Presiden Soekarno menyalami semua tamu yang datang. Namun yang menggelikan ia ngambek dan tidak mau bersalaman dengan Dewi Rais.
Tidak hanya itu, Presiden Soekarno komplain kepada Kolonel Hidayat (kala itu masih berpangkat kolonel), ayah Dewi Rais, yang menjabat Panglima Tinggi TNI di Sumatera pada masa clash ke dua dan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Kala itu, seperti dikutip Rosihan Anwar, Presiden Soekarno berkata “ Zeg, suruh jouw dochter itu jangan tulis yang bodoh-bodoh.”


Kemarahan Soekarno ternyata dipicu oleh tulisan Dewi Rais dalam surat kabar Api Pancasila yang mengritik ucapan Presiden Soekarno seputar Gestapu. Waktu itu Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gestapu merupakan druppeltje in de ocean (sebuah riak kecil dalam lautan samudera).


“Sejarah kecil” seperti itulah yang sebenarnya dapat membuat sejarah lebih hidup dan tidak kering, sehingga lebih menarik minat orang untuk membaca. Oleh karena itulah Rosihan juga pernah menerbitkan buku Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (2004).
Pendek kata kolom-kolom Rosihan Anwar tidak hanya sebuah komentar kritis terhadap persoalan yang terjadi setiap waktu, tetapi juga sebuah catatan kritis yang diracik sedemikian rupa sehingga “sedap” untuk dinikmati.

BUKU



Judul : Mao, Kisah-kisah yang Tak Diketahui
Penulis : Jung Chang dan Jon Halliday
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 958 Halaman
Terbit : Juli, 2007

Mao Tse-tung adalah tokoh Partai Komunis China yang sangat berpengaruh dan kontroversial. Meskipun begitu para penganut ajarannya masih ada hingga kini. Malah mereka tidak segan mengatakan bahwa Mao masih hidup di hati mereka. Pertanyaannya, benarkah ia seseorang yang layak dikultuskan? Pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam buku Mao, Kisah-kisah yang Tak Diketahui ini.


Buku ini secara keseluruhan ingin membeberkan siapa diri Mao Tse-tung yang sebenarnya, mulai dari kepribadian, kebiasaan, kecenderungan-kecenderungan, hingga orientasi ideologisnya. Bahkan kiprah, sepak terjang dan muslihatnya di dunia politik pun dikupas habis.
Dengan berbagai arsip, dokumen, buku dan catatan-catatan lain yang dikumpulkan dari seluruh penjuru dunia, penulis buku ini, Jung Chang bersama Jon Halliday, melakukan semacam rekonstruksi kesejarahan Mao. Keduanya berusaha untuk memperlihatkan Mao dari berbagai sisi secara objektif.


Untuk melengkapi data yang ada, penulis buku ini bahkan melakukan sejumlah wawancara dengan narasumber yang dianggap relevan dengan kisah Mao. Mereka adalah kerabat, teman-teman dekat, sejawat, tim medis, penerjemah, sekretaris, negarawan, pengawal pejabat, sejarawan dan saksi-saksi kunci dalam peristiwa bersejarah yang berkait dengan Mao. Para narasumber tersebut tidak hanya berasal dari China, tetapi dari seluruh dunia.

Hasilnya adalah biografi Mao yang sangat mendalam, lengkap, spektakuler dan sangat mengagumkan. Boleh dikatakan, dari sejumlah buku mengenai Mao yang pernah ada, buku ini adalah biografi Mao yang paling kaya dan tajam. Ketajaman dan kekayaan buku ini jauh melebihi buku-buku biografi Mao yang pernah ditulis, terutama biografi yang ditulis oleh orang-orang yang sempat berada di dekatnya, seperti dokter maupun pengawal pribadi.


Di bagian awal buku ini kompleksitas psikologis, karakter, pandangan-pandangan, serta sikap-sikap umum Mao yang hipokrit, otoriter dan kejam sudah dimulai diungkapkan, misalnya saja Mao, dari catatan pribadinya, mengaku bahwa ia menyukai pergolakan dan penghancuran. Ia bahkan akan merasakan semacam ekstase ketika melihat atau mengalami situasi seperti itu.
Lebih lanjut, seperti dikutipkan oleh penulis buku ini, Mao pernah mengungkapkan bahwa pendekatan untuk mengubah China adalah dengan penghancuran. Menurutnya, negara harus dihancurkan lalu dibentuk kembali. Penghancuran tersebut berlaku juga bagi negara, bangsa dan umat manusia, dan orang seperti Mao mendambakan penghancuran alam semesta, karena ketika alam semesta yang lama dihancurkan, alam semesta baru akan terbentuk.


Pandangan tersebut bukan hanya letupan emosi sesaat. Buktinya, di kemudian hari Mao bertahan dengan filosofi yang sama. Salah satu penerapannya adalah ketika Mao melakukan gerakan Lompatan ke Depan dan Revolusi Kebudayaan. Dalam gerakan Lompatan ke Depan, Mao terang-terang siap mengorbankan 300 juta rakyat China demi kemenangan revolusi dunia. Hal ini memang terbukti di lapangan. Proyek-proyek Mao yang kelewat percaya diri dan tidak rasional justru membawa bencana dan kesengsaraan bagi rakyat China.


Salah satu proyek tidak masuk akal Mao adalah pembuatan tanur rakyat. Perintah ini disusul dengan kewajiban rakyat untuk membuat tungku-tungku itu tetap menyala dan menghasilkan baja. Akibatnya barang-barang logam yang dimiliki penduduk, termasuk alat rumah tangga dan pertanian dilebur dan dilelehkan. Untuk keperluan ini banyak rumah dirobohkan agar kayu-kayunya dapat digunakan sebagai bahan bakar tanur-tanur tersebut. Namun demikian proyek ini gagal dan telah membuat rakyat sangat terpuruk.


Sementara itu dalam masa Revolusi Kebudayaan yang dimulai pada tahun 1966, Mao secara terang-terangan menggusur dan menghancurkan sesuatu yang dianggap berasal dari kebudayaan lama. Hasilnya sangat mengerikan, warisan sejarah China yang bernilai tinggi dan merupakan manisfestasi peradaban bangsa yang paling nyata dimusnahkan atas perintah Mao, mulai dari bangunan-bangunan kuno, monumen-monumen bersejarah, hingga perpustakaan. Kemudian, papan-papan nama jalan dan toko diganti.


Lebih jauh lagi Mao memerintahkan Pengawal Merah yang terdiri dari anak-anak muda untuk melakukan teror dan prakatik penyiksaan terhadap mereka yang dituduh memiliki hubungan dengan budaya lama, seperti penulis, pelukis, hingga pemain opera. Mereka disiksa dengan cara ditendang dan dipukul dengan tongkat berpaku. Para Pengawal Merah digambarkan memakai seragam khusus, yaitu baju hijau, ikat lengan berwarna merah di lengan kiri, dan Buku Merah Kecil (Little Red Book) di tangan kanan, ketika melakukan hal tersebut. Buku Merah Kecil adalah buku yang berisi kutipan ajaran-ajaran Mao.


Teror yang dilancarkan di seluruh penjuru negeri ini memakan jutaan korban yang tidak bersalah. Mao, lewat “mesin pembunuh” Pengawal Merah berhasil menciptakan ketakutan sampai rakyat benar-benar tunduk tanpa daya terhadap Mao. Selanjutnya Mao seperti memaksakan jalan terhadap pengultusan dirinya sendiri, salah satunya lewat jargon-jargon dan slogan-slogan yang berorientasi kepada dirinya.


Selain itu, dalam buku ini kekejaman-kejaman Mao berhasil digambarkan secara detil. Mereka yang membacanya akan menemukan suasana mencekam dan kengerian di dalamnya. Kejahatan, kebrutalan, penginjak-injakan harkat manusia, dan kebejatan moral Mao yang dibeberkan di buku ini setidaknya akan menggiring pembaca untuk menilai bahwa pemuja Stalin ini bukanlah pemimpin besar, tetapi seorang penjahat kemanusiaan. Itu sebabnya agak mengherankan jika masih ada yang menganggap bahwa Mao adalah pemimpin besar.


Sebagai sebuah biografi, buku ini sangat mudah diikuti, karena setiap babnya merupakan periodesasi usia Mao yang dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa khusus dalam periode tersebut. Misalnya saja pada bab Menjadi Orang Komunis, dituliskan periode ini terjadi pada tahun 1920-1925, di usia 17-26, lalu Bersaing dengan Stalin dituliskan terjadi pada tahun 1947-1949, pada usia 53-55. Cara seperti ini akan memudahkan pembaca untuk mengetahui perkembangan pemikiran sampai perubahan-perubahan orientasi politis dari waktu ke waktu. Sedangkan bagi para peneliti sejarah, priodesasi dalam buku ini akan lebih memudahkan penelusuran setiap peristiwa sejarah, terutama jika dikaitkan dengan peritiwa-peristiwa lain dalam periode yang sama.


Jung Chang--yang juga pernah mengalami tekanan yang berat di masa Mao berkuasa--dan Jon Halliday telah berhasil melakukan penelusuran sejarah Mao secara menakjubkan. Semua bahan yang dikumpulkan diolah dan disusun kembali menjadi sebuah historiografi. Cara penyusunan dan penyampaian yang memikat, mendorong pembaca untuk senantiasa mengikuti peristiwa demi peristiwa, yang acap kali menyodorkan fakta-fakta yang mengejutkan, hingga akhir.
Lebih penting lagi, buku ini bukan sekadar usaha penulisnya untuk membuat sebuah biografi atau penulisan sejarah, tetapi untuk mematahkan dan menghancurkan pengultusan Mao Tse-tung. Penulis seperti ingin membuka mata dunia bahwa Mao telah mencatatkan sejarah kelam kemanusiaan di China.

BUKU




Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007

Siapa tidak mengenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis. Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.


Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekadar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam tulisannya.


Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.


Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama, walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.

Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya (pluridimensional).

Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan. Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.


Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid hiburan yang dapat dinikmati secara instan.

Menyerahkan kepada pembaca
Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.


Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan substansial.


Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini, menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).

Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun 2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.


Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada “karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.


Dalam buku yang tidak diberi pengantar, baik dari editor, penerbit maupun penulisnya sendiri ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda Indonesia.


Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya, pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-tulisannya.

BUKU





Judul: 40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan
Penulis: Agung Budi Santoso
Penerbit: Panta Rei
Tebal: 253 Halaman
Terbit: November 2007


Kini semakin banyak orang yang berminat untuk memiliki usaha sendiri. Bahkan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap pun selalu mencari peluang untuk menambah pendapatan dengan cara ini. Bisnis yang dilakukan tidak perlu terlalu besar, tetapi yang penting dapat memberikan income tambahan yang memuaskan setiap bulannya.

Namun orang acap kali harus memutar otak untuk menentukan jenis usaha yang akan digelutinya. Mereka tidak mengetahui jenis usaha seperti apa yang cocok dilakukan, baik dari segi modal maupun keuntungan yang akan diraih. Akhirnya mereka menemukan jalan buntu.
Sebetulnya banyak sekali peluang bisnis yang dapat dilakukan. Bahkan mungkin peluang itu ada di sekitar lingkungan sendiri, baik lingkungan rumah atau kantor. Namun ironisnya peluang itu sering luput dari tangkapan ”indera ke enam” bisnis seseorang. Akibatnya, jutaan rupiah yang sebenarnya dapat mengalir ke dalam kantong malah hilang begitu saja. Hal yang menyedihkan, peluang yang ada di depan mata justru disambar oleh orang lain.

Hal itulah yang sebetulnya ingin disampaikan dalam buku 40 Bisnis dan Investasi Menggiurkan ini. Buku ini seperti ingin menunjukkan bahwa peluang berbisinis dan berinvestasi sesungguhnya masih sangat terbuka terbuka lebar, mulai dari bisnis berisiko rendah, hingga bisnis dengan risiko lebih tinggi.

Tidak hanya itu, penulis menyampaikan bahwa dari hal yang terkesan sepele, ternyata dapat dimulai sebuah bisnis yang hasilnya tidak dapat dikatakan kecil. Salah satu contoh bisnis yang ditawarkan penulis adalah bisnis kliping. Siapa pernah menduga bahwa bisnis ini ternyata cukup menjanjikan. Hanya dengan bermodal berlangganan koran, majalah dan tabloid, atau bahkan membeli bekas secara kiloan, seseorang dapat menghasilkan jutaan rupiah dari kliping yang dikumpulkannya.

Bisnis lain yang juga tidak bermodal banyak namun bisa menjadi andalan dalam mencari pendapatan tambahan adalah lahan parkir. Dengan modal utama lahan kosong saja, seseorang dapat memulai usaha lahan parkir. Apalagi lokasi lahan kosong yang dimiliki sangat dekat dengan kantor, pertokoan, atau sekolah yang tidak memiliki lahan parkir yang memadai.
Masih banyak lagi bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini, mulai dari berjualan bubur ayam, es campur, waralaba, invetasi emas, hingga bermain saham. Namun secara garis besar buku ini membagi bisnis dan investasi menjadi empat bagian.

Bagian pertama mengupas bisnis dan investasi yang berkaitan dengan jasa. Bisnis yang berkaitan dengan bidang ini diantaranya adalah sebagai penulis artikel, penulis buku, penerjemah, penulis skenario, waralaba laundry hingga penyewaan alat pesta.

Bagian ke dua membahas bisnis yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Di dalamnya dikupas bisnis katering, jus, toko oleh-oleh, hingga warung STMJ. Pada bagian ke tiga diuraikan berbagai investasi untuk melipatgandakan uang, mulai dari mini market, reksadana, bermain saham, sampai investasi dalam bentuk emas. Sedangkan pada bagian ke empat dipaparkan bagaimana membuka keran uang dengan bisnis budidaya dan kerajinan. Di sini dibahas bisnis-bisnis seperti beternak ikan cupang, kolam pemancingan ikan, beternak lele, tanaman hias hingga usaha florist.

Menariknya, setiap bisnis yang dibahas dalam buku ini disertai ilustrasi biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapat. Dengan demikian pembaca akan lebih mudah mengukur dan mendapatkan gambaran dari bisnis yang akan dijalankan.

Berbagai jenis bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini memberikan inspirasi pada pembacanya bahwa peluang bisnis masih terbuka lebar. Siapa pun dapat melakukannya, tergantung isi kocek tentunya. Namun, yang paling penting adalah, buku ini mengajarkan bahwa kejelian melihat peluang merupakan kunci sukses setiap bisnis maupun investasi yang dilakukan.


BUKU


Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit
: Pustaka Jaya
Tebal
: 1330 halaman
Cetakan
: Januari 2008

Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing), Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956, dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat bekerja atau tidak.

Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin membuktikan bahwa seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.

Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.

Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.

Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.

Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan membuatnya lebih terkenal.

Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya, hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.

Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari carita pantun yang berarti aktif-kreatif.

Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat, satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human interest dari tokoh tersebut.

Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal, menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.

Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya, membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup.

BUKU


Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008

Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.

BUKU


Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis:
CM Rien Kuntari
Penerbit:
Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan:
November 2008
Tebal:
483 halaman

Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.
Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.
Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.

Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).

Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.

Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.

Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.


Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.


Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.


Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.


Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.


Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.


Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.


Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.


Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di tengah.

Kamis, 10 September 2009

novel


JUDUL : AYAT AYAT CINTA

Penulis: Habiburrahman El Shirazy

Penerbit Republika

Hal: ix + 418

Peresensi: Diansya


Penasaran sekali dengan novel ini. Apa sih isinya? Dan seperti apa? Sampai heboh dimana-mana.

Awal baca, aku sedikit menyalahkan beberapa orang yang meresensi. Masa seperti ini novel sih? Kupikir malah terlalu banyak teori. Belum lagi istilah-istilah asing yang sangat banyak. Semakin membaca, istilah asingnya semakin banyak, ada Arab, Jerman dan Inggris hi..(kalau Inggris sih, dasar sayanya yang emang minimal banget). Jadi kepikir kalau aku nulis istilah nihonggonya kebanyakan, emang bener, bakalan banyak diprotes orang.

Tapi bukan berarti tidak menarik. Kurasakan perasaan yang sulit diungkapkan, membaca di zaman seperti ini, ada orang yang haus ilmu. Mengaji pada seorang ustadz. Dengan jarak puluhan kilometer, ditempuh dalam waktu tidak sebentar. Sungguh, itu sebuah kabar yang jarang sekali kudengar. Biasanya adalah menceriterakan kisah salafushsholih saat menuntut ilmu. Tapi ini dijaman sekarang? Apalagi itu dilakukan dalam keadaan terik matahari musim panas di Mesir yang mencapai 40 derajat lebih. Subhanalloh. Eh, aku justeru nangisnya di sini. Di belakang-belakang saat adegan-adegan ‘novel’ kok malah ga keluar air matanya ya? Menurutku sih kisah percintaannya biasa-biasa saja.

Ada juga saat menceriterakan mimpi Fahri saat bertemu dengan Ibnu Mas’ud. Membuat perasaan saya ikut mengharu-biru.Tidak salah memang kalau novel ini disebut novel penggugah jiwa.

Ada memang beberapa yang kulompat membacanya. Gimana ya, terlalu ilmiah yang menuntut untuk berpikir. Tidak beda dengan membaca buku fiksi, dan yang pasti karena nggak sabar dengan cerita yang dibilang orang-orang seru. Mana sih adegan empat orang wanita yang mencintai Fahri ini?

Di pertengahan lebih buku itu, aku baru merasa membaca novel. Adegan demi adegan mengalir bagus. Kisah Fahri yang ingin menikah, kemudian ada perang batin di saat-saat memutuskan untuk menikah, karena ada wanita lain.

Ada adegan-adegan sepasang pengantin baru disini. Kata pengantarnya, jadi benar-benar seperti novel asmara (ah, apakah novel asmara harus seperti itu??) Saya membayangkan bila belum nikah, baca itu rasanya mungkin risih juga...

Selanjutnya ada adegan dalam penjara Mesir saat Fahri dipenjara. Itu juga mengingatkan saat-saat para ulama dipenjara.

Tak jauh dari masalah keluarga dan wanita. Poligami. Dengan siapa?? Baca aja sendiri he..Happy/sad ending yah novel ini? Akhir cerita memang syahdu, tapi rasanya bukan sad ending. Karena setelah itu rasanya Fahri bahagia bersama isterinya.

Akhirnya, buku ini (bukan novel he..) bisa dibaca oleh semua orang. Bagi yang masih kurang menyukai novel, buku ini tidak melulu adegan-adegan kehidupan seperti novel-novel pada umumnya. Banyak sekali ilmu di dalamnya. Dalam dunia penulisan, seringkali dibilang kalau bisa jangan terlalu “ini ibu Budi” sekali dalam menuliskan hikmah. Namun dalam buku ini tidak hanya “ini ibu Budi..” bahkan banyak dalil-dalil didalamnya Mulai dari masalah pandangan wanita dalam Islam, pergaulan dengan non muslim dan banyak lagi. Namun saya merasakan tidak digurui. Mungkin karena dalam konteks ini malah justeru kelihatan ilmiah.

Dan bagi yang masih malas membaca buku-buku yang ilmiah, buku ini juga cocok karena dipadukan dengan kisah yang sangat menawan.

novel


Judul Buku :SUPERNOVA
Penulis: Dee atau Dewi Lestari
Penerbit: Truedee Books
Tahun terbit
: 2006

cetakan :ke-7
ISBN : 979-96257-0-X
Jumlah Halaman:286 Halaman
Dimensi: 16x21 cm


Diskripsi:
Novel SUPERNOVA diperuntukan bagi Anda yang ingin Hidup. Apa yang hendak disampaikan di Supernova bukan sesuatu yang mudah dipahami. Kita berusaha merangkum sejarah miliaran tahun. Kita berusaha mendeteksi gerak-gerik sesuatu yang kecepatanya melebihi cahaya. Kita berusaha memuat apa yang hanya bisa dijangkau abstraksi bernama “iman” kedalam sel-sel otak kita yang usang.Tapi,jangan terlalu cepat berkecil hati. Dalam kompleksitas struktur dan mekanismenya, ada satu pola sederhana yang bisa kita tangkap.Mungkin malah terlalu sederhana,sehingga pikiran Anda yang sudah terbiasa hidup dalam kepelikan,tidak sanggup menerima.Namun itulah yang berusaha kita pelajari:bagaimana satu kesederhanaan dapat memecahkan semua kompleksitas.
Saya bukan Guru,Anda bukan Murid.
Saya hanya pembeber fakta.
Perunut jaring laba-laba.
Pengamat simpul-simpul dari untaian benang pearak yang tak terputus.
Hanya ada satu paradigma di sini: KEUTUHAN.
Bergerak untuk SATU tujuan:menciptakan hidup yang lebih baik.
Bagi kita.Bagi Dunia.
Karya ini menjadi salah satu 5 besar Katulistiwa Literary Award. Tak hanya menuai kritik,pujian,dan perdebatan namun juga membawa angin segar yang menggeliatkan kembali industri Sasta di Indonesia. Telah menjadi best seller nasional dan episode pertamanya telah terjual 100 ribu buku. Karya Dewi Lestari dari Bandung ini menjadi inspirasi bagi Anda-anda penggelut dunia sastra terutama penciptaan karya cipta Novel. Salah satu kesegaran baru yang muncul sebagai penelusuran lewat sains,spiritualitas, dan percintaan yang cerdas ,unik dan mengguncang. Di dunia dengan jarak yang kian menyusut dan pikiran yang dituntut untuk kian mengglobal,Supernova bisa memberikan beberapa alternatif persepsi untuk memandang eksistensi manusia dan relasinya dengan seluruh aspek kehidupan. So, lengkapi koleksi buku novel anda dengan karya Dee ini….

Rabu, 09 September 2009

novel


Judul Buku :Harry Potter dan Kamar Rahasia
Penulis: J.K. Rowling
Alih bahasa: Listiana Srisanti

Penerbit:Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit ceakan ke-19 : 2007
ISBN : 978-979-655-852-0
Dimensi: 16x20 cm


Diskripsi:
Tentunya Anda tidak lupa dengan penulis terkaya di dunia J.K. Rowling kan? Bagi Anda yang menyukai novelHarry Poter tidak akan asing lagi dan mungkin sudah hafal dengan serial Kamar Rahasianya,Namun bagi Anda yag sibuk dan tidak sempat meluangkan waktu untuk menonton filmnya atau bagi Anak-anak Anda yang ingin menggali lebih dalam dalam menulis cerpen dan kemudian Novel, akan menjadi contoh cara penyampaian sebuah novel yang bagus jalan ceritanya dan gaya ceritanya.
Novel Harry Potter dan Kamar Rahasia ini secara ringkas bisa disebutkan antaralain: Baha Harry potter sedang liburan musim panas bersama keluarga Dursley yang menyebalkan karena perlakuan kasar yang diterima Harry. Dia ingi sekali kembali segera ke Sekolah Sihir Hogwarts. Tetapi tiba-tiba muncul makhlik aneh bernama Dobby,yang melarangnya kembali kesana.Malapetaka akan terjadi bila Harry kembali kesana. Setelah dengan susah payah Harry potter dijemput temanya dengan mobil terbang dan sesampainya di Sekolah Hogwarts betul-betul terjadi malapetaka. Karena pada tahun keduanya di Hogwarts muncul siksaan dan penderitaan baru,dalam wujud guru baru sok bernama Gilderoy Lockhart,hantu bernama Myrtle Merana yang menghantui toilet anak perempuan dan perhatian tak diinginkan dari adik Ron Weasly,Ginny.
Tetapi semua itu Cuma gangguan kecil dibandingkan dengan bencana besar yang kemudian melanda sekolah. Ada yang mengubah murid-murid Hogwarts menjadi batu. Mungkinkah pelakunya Draco malfoy yang jahat sama Harry,yang riwayat masa lalunya akhinya terbongkar?Atau, mungkinkah pelakunya anak paling dicurigai semua orang di Hogwarts…Yakni Harry Potter sendiri???? Nah untuk lebih jelasnya Anda baca bukunya sampai tuntas tentunya akan menjadi lengkap koleksi buku novel Anda bila ada serial ini, atau nonton filmnya langsung…

buku


Judul : Untukmu yang Berjiwa Hanif
Penulis: Armen Halim Naro
Penerbit: Pustaka Darul Ilmi-Bogor
Cetakan : Ketiga, Maret 2008
Halaman: x+185


Ini merupakan buku best seller buah karya Ustadz Armen Halim bin Jasman Naro bin Nazim bin Durin rahimahullah, seorang putra Pekanbaru. Buku ini diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai fitrah yang lurus dan hati yang hanif. Untuk mereka yang menempuh perjalanan panjang mencari kebenaran sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Salman al Farisi dan Waraqah bin naufal.

Buku ini memuat lima bab dan satu bab penutup. Yaitu
Bab satu berisi muqaddimah.
Bab dua berisi hakikat kehidupan.
Bab tiga berisi gerbang hidayah.
Bab empat berisi menuju cara beragama yang benar.
Bab lima berisi menuju madzhab salaf.
Bab enam berisi penutup.

Dalam ringkasan ini hanya dikutipkan sebagian isi dari buku tersebut sebagai gambaran untuk para pembaca. Yaitu dari bab Menuju Cara Beragama yang Benar. Tidak semuanya, tetapi dengan meringkasnya. Footnote tidak saya sertakan.


[MENUJU CARA BERAGAMA YANG BENAR]
----------------------------------
Setelah seseorang diantar ke gerbang hidayah, dituntun oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke pintu Islam, berarti ia telah mendapatkan setengah kebahagiaan. Akan tetapi, apakah hanya sampai di sana riwayat kebahagiaannya? Sampai disitukah pencariannya terhadap kebenaran? Tentu tidak, seseorang yang menghendaki hidayah kedua dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, hendaklah ia mengolah hidayah yang pertama.

Hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang pertama adalah keinginan untuk mencari kebenaran, lalu hamba tersebut mengolahnya dengan ilmu dan iman serta usaha dan amal, maka akan menghasilkan hidayah kedua dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yaitu taufiq Allah Subhanahu wa Ta'ala pada seorang hamba dalam kebenaran pada semua tindakannya. Itulah yang disebut oleh Allah dalam al Qur'an,

"Dan orang yang berjuang di jalan Kami, akan Kami berikan kepada mereka hidayah jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al Ankabut: 69).

Para ulama berkata, "Kami beri mereka taufiq, untuk mendapatkan sasaran yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka pada ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala."

"Dan Allah tambahkan orang yang diberi hidayah itu dengan hidayah." (QS. Maryam: 76).

Penafsiran ayat ini ada 5 pendapat, yaitu:
1. Allah tambahkan dengan tauhid sebagai iman.
2. Allah tambahkan pemahaman dalam agama.
3. Allah tambahkan keimanan setiap kali turun wahyu.
4. Allah tambahkan iman dengan nasikh wal mansukh.
5. Allah tambahkan orang yang mendapatkan yang mansukh, petunjuk yang nasikh.

Zajjaj rahimahullah berkata (maknanya), "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menambah keyakinan mereka, sebagaimana orang kafir ditambahkan kesesatan bagi mereka."

Orang yang memperolah hidayah kedua merupakan orang pilihan Allah dan dialah wali Allah, sebagai tingkat keimanan muslim yang tertinggi. Buah dari kewalian tersebut adalah kecintaan dan pembelaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba tersebut pada setiap kondisi dan keadaan.

Untuk menggapai hidayah yang kedua seorang muslim harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:

1. BERJIWA HANIF
Hanif secara bahasa ialah 'condong kepadanya', orang yang hanif yaitu orang yang condong kepada kebenaran, kepribadian yang lurus dan istiqamah.


2. BERSERAH DIRI
Jika seseorang hendak mencari kebahagiaan dan jalan menujunya mudah, maka tentu pintu itu adalah pintu penyerahan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penyerahan diri dalam perintah dan larangan-Nya, Iman dan Islam kepada-Nya, mengikuti kabar dan berita yang disampaikan-Nya.

Allah mengabarkan bahwa cara beragama yang baik adalah dengan berserah diri, (dalam firman-Nya):

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?" (QS. An Nisa: 125).


3. MEMILIKI MOTIVASI
Seseorang yang memperoleh hidayah mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah surga yang luasnya meliputi langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, tentu yang mencari akhirat lebih lagi.

Contoh terbaik dalam kemauan yang keras dalam mencari kebenaran adalah Salman al Farisi Radhiyallahu'anhu. Ia meninggalkan kekayaan dan kebesaran orang tuanya di Persia, dan berpindah dari negeri ke negeri dan dari guru ke guru lain, hingga akhirnya terjual menjadi budak di pasar Madinah. Setelah perjalanan yang sangat panjang tersebut baru bertemu dan beriman dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, lalu akhirnya kembali ke Persia
menjadi gubernur di sana.


4. SABAR DAN YAKIN
Sekiranya akal dapat diumpamakan dengan sebuah benteng yang kokoh, maka yang perlu diwaspadai adalah serangan syahwat dan syubhat.... Penangkal syahwat dengan sabar dan penangkal syubhat dengan yakin. Ketika terjadi pertautan antara sabar dan yakin, lahirlah kepemimpinan dalam agama.

Allah berfirman
"Dan Kami jadikan dari kalangan mereka itu pemimpin-pemimpin dengan perintah Kami karena mereka bersabar, dan mereka telah sangat yakin dengan ayat-ayat Kami." (QS. As Sajdah: 24).



[PERSONAL VIEW]
----------------
Menarik sekali untuk kita simak dari bab Cara Beragama yang Benar. Harus ada usaha untuk mendapatkan hidayah. Salman al Farisi radhiyallahu'ahu telah memberikan contoh yang perlu kita ingat. Betapa perjalanan panjangnya membuahkan hasil, bertemu dan beriman kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.

Sebagian dari saudara-saudara kita pun telah menempuh perjalanan panjang untuk sampai kepada Islam dan Sunnah. Semoga Allah, Rabb Yang Bersemayam Di Atas Arsy selalu menyertai mereka dan tidak meninggalkannya.

"Dan orang yang berjuang di jalan Kami, akan Kami berikan kepada mereka hidayah jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al Ankabut: 69).